Tobat dan bencana alam, apa hubungannya?

Bumi bergoyang keras… Bukit saja bisa dirobohkannya hingga membelah jalan, dan.. tiba-tiba air laut pun naik setinggi bukit lalu menerjang daratan sampai ke pedalaman sanggup menyapu apa pun yang menghadang.  Luar biasa !! bagaimana nasib bangunan dan rumah-rumah buatan manusia?? dalam sekali goyangan saja semua sudah dibuat rata dengan tanah. Lalu manusia bisa berbuat apa?? selain menangis meraung dan menyesali semua kehilangan dan ke-takkuasaan-nya untuk yang kesekian kalinya.

Seketika orang-orang berseru agar manusia segera bertobat. Maksudnya?? apakah bila manusia segera bertobat lalu Tuhan akan segera pula merasa kasihan dan menitahkan gempa dan bencana lainnya untuk ikut bertobat tidak lagi “mengganggu” manusia?? Ya, mungkin aja sih.. Tuhan kan Maha Kuasa. Kalau Dia mau menghentikan semuanya pasti bisa. Tapi sayangnya cuma Tuhan juga yang tahu, kapan waktu yang tepat menurut Nya untuk menghentikan semuanya. Yang pasti, dan yang masih mungkin kita (manusia) pelajari dengan nalarnya adalah ternyata negara kita Indonesia telah dibangun diatas wilayah – yang menurut ketentuan Nya – rawan gempa bumi dan tsunami.

Menurut catatan peristiwa, pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia dalam kurun waktu hampir satu abad (1900-1996). Bencana gempa dan tsunami besar yang terakhir – masih hangat dalam ingatan – terjadi pada akhir 2004 di Aceh dan sebagian Sumatera Utara.

Sebetulnya gempa bumi terjadi hampir di setiap tahun di Indonesia. Setelah gempa Aceh di akhir 2004, lalu pada 2005 Pulau Nias dan sekitarnya juga dilanda gempa. Akhir Mei 2006, giliran Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah diporakporandakan gempa bumi. Korban pun mencapai ribuan.

Kenapa begitu ?? ternyata berbagai daerah di Indonesia memang merupakan titik rawan bencana, terutama bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah dan menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik maka akan menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.

Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Kemudian Sulut, Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim.

Yang tidak kurang ‘merisaukan’ juga, Indonesia merupakan jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin api Pasifik membentang diantara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan.

Ia membentang dari mulai pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika Utara, melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia baru dan kepulauan di Pasifik Selatan. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, di mana hampir 70 di antaranya masih aktif. Zone kegempaan dan gunung api aktif Circum Pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di kawasan itu, dipastikan menelan korban jiwa manusia amat banyak.

Sayangnya, untuk mengetahui kapan gempa bumi akan terjadi merupakan pekerjaan yang sulit. Hal ini dikarenakan gempa dapat terjadi secara tiba-tiba di manapun asalkan masih berada dalam zona kegempaan bumi. (sumber : http://www.pdat.co.id/hg/political_pdat/2006/06/19/pol,20060619-01,id.html)

Jadi, kondisi perut bumi yang ber-lempeng2 itu serta gerakan-gerakan/tabrakan-tabrakan adalah sebuah ketentuan alam yang pasti akan terjadi, hanya waktunya yang tidak dapat terdeteksi secara tepat. Dan, bagaimanapun (kalau kita percaya akan kekuasaanNya) proses alam itu pada dasarnya tunduk dan patuh terhadap ketentuan Nya.

Lalu, Indonesia negeriku, mengapa engkau berdiri tepat diatas daerah rawan bencana.. 😦 So pasti takdir jua lah yang menentukan demikian.

Kalau membaca analisa ilmiah seperti diatas, maka sepertinya “tidak ada” kaitannya bencana itu dengan dosa manusia. Seolah-olah, ada ataupun tiada manusia diatasnya maka gerakan-gerakan di perut bumi itu tetap akan terjadi. Entah kalau aktivitas manusia yang semakin menjadi-jadi dapat mempercepat atau memperdahsyat semuanya. Aku samasekali tak paham. Walahualam.. hanya Dia lah yang mengetahui apa yang sebenar-benarnya terjadi.

Dalam pemahamanku, peristiwa alam, perjalanan hidup, adalah “guru simbolik” (meminjam istilah Gde Prama) yang disajikannya Nya untuk di maknai sendiri oleh manusia dengan bekal iman-spiritualitas, kapasitas intelektual, emosi, fisik dan materi yang dimilikinya.  Dan, berdasarkan itu manusia menentukan tindakan terbaiknya ke depan. Tobat tampaknya merupakan reaksi spontan-naluriah ketika seseorang berada dalam situasi benar-benar tak lagi memiliki daya dan kuasa atas hidupnya sendiri.

Jelaslah bahwa negara kita bakalan sering kena gempa dan bencana lainnya. Mengetahui kondisi ini, seyogyanya memicu untuk senantiasa bertobat  di setiap saat..  sehingga saat itu terjadi (lagi), dan ternyata kali itu kita adalah korbannya, kita sudah dalam keadaan siap menerima – bahkan – menghadap Nya..

NN
1 okt 2009

Leave a comment