Mas Kawin

Bukan gara-gara aku punya anak perempuan yang mulai dewasa, bukan juga karena ingin segera menimang cucu, tapi ini semua asli ‘gara-gara’ bapak Quraish Shihab sang ulama itu, yang satu saat kajian ayat Al’qurannya di ba’da sahur  membahas masalah mas kawin (ayat an-nisa) yang cukup menggiurkan sehingga aku berpikir tentang mas kawin 🙂

Ternyata seperangkat alat shalat dan Al’quran itu bukan mas kawin yang dianjurkan oleh beliau. Katanya lebih baik berwujud atau bernilai materi. Nah lho.. padahal perasaan selama ini udah bangga banget tuh dikasih mas kawin yang seperangkat itu seolah hati jadi tenang karena itu adalah simbol kesolehan dan harapan akan terwujudnya keluarga sakinah kelak.

Nilai uang atau materi untuk mas kawin bukan semata-mata berarti perempuan dihargai dengan uang tapi mungkin kita harus melihat dari sisi simbolis/perlambangannya. Sebetulnya dibalik hal yang seolah ‘matre’ itu mas kawin kan punya makna tanggung jawab dan usaha; yaitu bahwa sang calon suami berjanji kelak akan bertanggung jawab atas biaya hidup istrinya. Selain itu, bisa jadi ada makna nilai sang istri baginya juga kan? Semakin banyak jumlah atau nilai (materi)nya semakin tinggi arti calon istri itu baginya, apalagi kalau untuk mewujudkan semua itu sang calon suami harus berusaha keras.

Eh, tapi bukan berarti pria miskin gak ada harapan punya istri loh.. (aku belum sekejam itu 🙂 )  Kalau misalnya, baginya nilai 1 juta dirasa berat dan susah didapat, tapi dia mau berusaha keras untuk mendapatkan itu demi calon istri tercinta, kenapa tidak? pan udah dibilang bahwa itu adalah simbol.

Nah yang lebih ekstrimnya lagi, dan sekaligus pernyataan yang aku suka, adalah saat beliau  ‘menganjurkan’ nilai mas kawin lebih besar dari nilai pestanya, daripada uang habis secara enggak jelas. Waahh kebayang gak sih berapa jumlahnya itu ??? 🙂 daripada uang itu dibentuk kembang dan dijadikan souvenir buat  para tetamu yang tergolong mampu pula 😉   Hmm… dulu saat kita-kita masih lajang dimanakah pak Quraish berada? hehe…  Lanjutnya, dengan demikian, perempuan  engga rugi krn mas kawin itu sepenuhnya adalah hak  miliknya, suami gak punya hak untuk ikut campur sedikitpun. Hmm.. mungkin beliau sering melihat perempuan diperlakukan tidak selayaknya kali ya? kerja engga boleh, hidup pas-pasan, giliran ditinggal suami gak punya apa-apa, gak bisa apa-apa tapi harus ngurusin anak  yang jumlahnya banyak pula, alamaakk..  😦  Ini barangkali lho..

Jadi kesimpulannya, lupakan seperangkat alat sholat dan Al’quran yang mudah diiperoleh tapi belum tentu dijalankan itu. Saat akan menikah berpikirlah tentang “si dia menilai kita setinggi apa ya?? atau seberarti apa ya?? sehingga dia mau berusaha keras untuk memberi mas kawin dengan nilai tinggi”. Bukankah yang seperangkat itu mah memang sudah seharusnya kita miliki dan mulai dijalankan sejak masa akil balik?

Gimana? setujukah kalau mulai sekarang kaum perempuan harus belajar untuk lebih ‘matre’ saat menghadapi perkawinannya? 😉

NN

16 thoughts on “Mas Kawin

  1. KR

    Uraian kata2 diatas sangat menjadi perhatian gue, sebenarnya ini yang gw permasalahkan dari dulu kenapa gw kurang sreg dengan mas kawin “seperangkat alat sholat”.

    secara logik otak gw bilang “klo loe kawin pake mas kawinnya alat sholat maka setelah sah loe harus bisa sholat 5 waktu kapanpun dan dimanapun!! sangat besar tanggung jawab yang harus diemban, secara sekarang jaman edan klo ngga kerja cari duit ngga bakal bisa makan, boro2 sholat 5 waktu, bisa sholat sekali dalam sehari aja sudah bersyukur sekali.

    sedangkan klo kita tidak menyertakan “seperangkat alat sholat” saat prosesi, masyarakat teriak “lho kog ngga ada, ngga afdol dong”

    sebenarnya ini intinya, dimana kita harus merubah nilai dan norma yang ada, mengingat jaman sudah berubah

    Reply
  2. t mi2 t a

    Aku malahan lupa mas kawinku dulu apa yaa?
    Perasaan sih kagak ada dokunye. Nyang ada apa yaa… Atau memang kagak ada… Poho euyyy…

    Reply
  3. Ratna Isnasari Post author

    Wah maaf mas dikki, waktu itu aku cuma dengerin kajiannya P Quraish di TV, kalau dalam ayatnya, kayaknya ga di sebut2 harus (atau sebaiknya) dalam bentuk apa.

    Reply
  4. Anita

    Assalamu’alaiku…

    ikutan Nimbrung aah…. ^___^.

    klo g salah yg pernah Nita denger sabda Rasulullah bhw:
    “Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling sedikit/murah mas kawinnya.”

    Adapun Ulama Syafi’iah dan Hanbaliyah yg berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat “Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa’), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai” (Q.S. al-Nisa’ : 24). Kalimat “amwaal” (Indonesia = harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma’ para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : “iltamis walau khaataman min hadid” (“Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. “Saya pasrahkan diri saya pada tuan”, kata si perempuan. Namun lantas Nabi berfikir agak panjang.
    Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi,
    “Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku”.
    “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?”
    “Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini”.
    “Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu”.
    “Sama sekali saya tak punya apa-apa”.
    “Carilah, walau hanya cincin besi”.
    Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi:
    “Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur’an?”.
    “Oh ya, surat ini dan surat ini”, dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, “Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur’an”.

    Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur’an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).

    Wassalam…

    Reply
  5. Ratna Isnasari Post author

    Hello Nita, silahken nimbrung se puas2 nya.. 🙂

    Mana mungkin aku ga setuju dengan sabda Rasul kalau memang itu ada. Yah namanya juga Rasul, orang yang Sempurna. Mestilah beliau akan mengajar kita untuk ikhlas, tawakal, bersyukur, berpuas diri.. dst dst yang baik-baik. Lalu beliau juga pasti akan mempertimbangkan kaum lelaki yang kurang mampu alias kismin. Kalau cewek2 dibiarkan matre kesian amat co miskin ya? kapan kawin nya???

    Tapi kalau ketemu co kaya, yang – untuk biaya kawin, eh nikah aja – sanggup mengeluarkan ratusan juta bahkan milyard, kenapa sang istri harus keukeuh dengan mas kawin paling sedikit/murah?, atau kalau sang lelaki ingin memberi sesuatu yang bernilai tinggi buat istrinya, dan dia sanggup berusaha untuk itu, enggak perlu tokh kita bersikukuh dengan yang paling murah saja?

    Kalau kembali ke mas kawin sebagai simbol penghargaan. Maka jelas lah bukan melulu masalah nominal uang atau barang-barang mahal. Tapi lebih ke seberapa ‘bernilai’ nya sesuatu/barang yang diberikan sang lelaki, dan ia rela memberikannya karena calon istrinya pun bernilai baginya. Contohnya sarung. Lah karena dia miskin maka sarung itu mungkin jadi barang yang berharga banget buat sang lelaki. Tapi tokh ia berikan juga buat calon istrinya. Yah mudah-mudahan aja begitu ya motif nya?

    NN

    Reply
  6. Anita

    yuuup… beda lg klo dr pasangan memang mampu (kaya)
    klo d beri mas kawin yg mahal, siapa jg yg bakalan nolak hehehhehe….

    mang bnr bgtz, ssuatu yg d ksh bkn dinilai dari harganya tp dari ketulusan tuk memberi wlo kecil nilainya.

    tul g….. ^___^

    Reply
    1. Ratna Isnasari Post author

      Lebih tepatnya, dinilai dari seberapa ‘berarti’ nya buat dia, dan dia ikhlas memberikannya. Gitu kali ya? Syukur2 kalo harganya mahal juga haha.. (teteuuupp)

      Reply
  7. Ratna Isnasari Post author

    Nah, giliran disuruh nentuin emang bingung juga sih 🙂

    Gini nit, ta kasih saran yang cespleng.. (moga-moga). Kalau doi udah mulai nyrempet2 bicara mas kawin, coba disarankan untuk search blog aku dulu.. 🙂 Nah siapa tau dia ‘tersinggung’, habis itu baru deh dibisiki mas kawin apa maumu.. hehe..

    Masalahnya, kita kaum perempuan umumnya malu untuk menyebut sebuah permintaan. Takut di bilang matre lah ini lah itu lah.. Singkat kata jaim deh pokoke. Jadi alangkah senangnya kalau kesadaran itu muncul sendiri dari kaum lelaki, tul gak? setelah dia sadar baru deh langsung nyebut but but.. minta emas batangan sekarung..

    Reply
    1. Ratna Isnasari Post author

      ya iya lah pingsan 7 hari 7 malam, apalagi kalau co nya susahpisan, hehe…
      lain cerita kalau co nya susahpingsan, 100 karung juga teteuupp sadarkan diri.. 🙂

      Reply

Leave a reply to susahpisan Cancel reply